Rabu, 28 Januari 2009

PENGHASILAN EKSPATRIAT TERLALU TINGGI, Pemerintah Atur Gaji Sektor ESDM
------------------------------

*Saturday, 30 June 2007 01:49:00*
*JAKARTA, Investor Daily *

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini mengkaji standar
gaji tenaga kerja di setiap kontraktor kerja sama (KKS). Sebab, terjadi
ketimpangan yang sangat menyolok antara gaji tenaga kerja nasional dan
ekspatriat.

Sebagai contoh, untuk level direktur utama, gaji tertinggi yang dinikmati
ekspatriat mencapai Rp 295 juta, sedangkan dirut lokal hanya Rp 130,5 juta.
Untuk level direksi, gaji tertinggi kespatriat sebesar Rp 245,8 juta,
sedangkan lokal Rp 104,4 juta.

"Kami tengah menyusun semacam standar atau patokan ketenagakerjaan di sektor
migas, baik mengenai umur maupun gaji," ujar Direktur Jenderal Migas
Departemen ESDM Luluk Sumiarso kepada *Investor Daily * di Jakarta,
baru-baru ini. Untuk hal ini, Departemen ESDM berkoordinasi dengan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).

Menurut dia, gaji tenaga ekspatriat cenderung lebih tinggi karena umumnya
mereka membawa keluarganya ketika datang ke Indonesia sehingga perusahaan
harus menanggung tunjangan keluarga. Selain itu, ekspatriat memiliki
kompetensi yang dibutuhkan, sementara tenaga kerja nasional belum mempunyai
keahlian seperti itu.

Namun, adanya kesenjangan tersebut menyebabkan banyak tenaga kerja nasional
'lari' ke luar negeri atau ke perusahaan asing yang memiliki standar gaji
lebih tinggi.

Luluk mengatakan, gaji menjadi salah satu variabel untuk penghitungan biaya
produksi yang harus ditagihkan ke pemerintah. "Karena itu, ya jangan asal
menerima begitu saja apa yang diusulkan KKS. Kalau masih wajar tidak
apa-apa, tapi kalau besarnya gaji kelewatan, pihak yang berwenang (BP Migas)
harus bisa menolak," jelasnya.

Secara terpisah, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi
(BP Migas) Kardaya Warnika mengatakan, pihaknya telah meminta para KKS agar
tidak terlalu royal memberikan gaji atau fasilitas kepada ekspatriat. Saat
ini, gajinya terlalu besar sehingga menimbulkan kesenjangan dengan tenaga
kerja nasional.

Kardaya juga merasa miris ketika mengetahui pengeluaran seorang ekspatriat
di salah satu KKS mencapai 50% dari pengeluaran seluruh pekerja. Untuk
menekan *cost recovery *, kata dia, pihaknya meminta KKS agar lebih
mengakomodasi tenaga kerja nasional.

Menurut Kardaya, peraturan resmi pemerintah tentang sistem ketenagakerjaan
di KKS belum ada, namun BP Migas telah membuat aturan tersendiri. Dalam
aturan itu, posisi yang sudah bisa diisi oleh tenaga kerja nasional tidak
boleh diisi oleh tenaga ekspatriat. "Kami juga mewajibkan KKKS setiap tahun
harus mengurangi ekspatriatnya hingga 50%," katanya.

* Bertambah
*
Menurut BP Migas, jumlah tenaga kerja KKS (termasuk PT Pertamina EP) pada
2006 adalah 26.637 orang, yakni 24.568 orang tenaga kerja nasional dan
1.069tenaga ekspatriat. Pada 2005, jumlah tenaga kerja mencapai
25.266 orang, yakni 24.252 tenaga kerja nasional dan 1.014 ekspatriat.

Penambahan jumlah tenaga ekspatriat sepanjang 2004-2006 umumnya terjadi pada
KKS yang belum berproduksi (tahap eksplorasi) karena adanya kontrak wilayah
baru.

Kardaya mengatakan, program pengembangan tenaga kerja nasional harus menjadi
komitmen semua KKS. Agar program berjalan efektif, telah diluncurkan *career
development monitoring * (CDM). Tujuannya, menilai kesungguhan KKS dalam
mengutamakan penggunaan dan pengembangan tenaga kerja nasional.

Dalam konteks itu, ada evaluasi program suksesi tenaga ekspatriat dengan
tenaga kerja nasional serta program internasionalisasi tenaga kerja
nasional.

Sepanjang 2004-2006, kata Kardaya, jumlah tenaga kerja nasional yang
berhasil distandarkan dengan sistem internasional meningkat signifikan. Pada
2004 hanya 25 orang, namun pada 2005 menjadi 47 orang dan pada 2006 menjadi
52 orang. Suksesi dari tenaga ekspatriat ke tenaga kerja nasional juga
meningkat, secara berturut-turut adalah 18, 39, dan 44 orang.

Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Hernanto Soemarno
mengatakan, jumlah tenaga ekspatriat yang dipekerjakan perseroan tidak lebih
dari 1% dari total 18.700 pekerja.

Ari mengakui, tenaga ekspatriat tetap diperlukan, sebab tidak semua
kompetensi pekerjaan eksplorasi dan produksi migas bisa dipenuhi tenaga
kerja nasional.

Juru bicara ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) Deva Rahman mengatakan, sebanyak
95% dari 1.600 tenaga kerja EMOI adalah nasional.

Deva mengakui, gaji ekspatriat di EMOI jauh lebih tinggi dari tenaga kerja
nasional. Sebab, mereka membawa seluruh keluarganya, sehingga tunjangan yang
harus diberikan juga jauh lebih besar. "Tapi, sebaliknya, kalau ada tenaga
kerja nasional yang kita kirim ke luar Indonesia juga diperlakukan serupa,"
paparnya.

Berdasarkan penelusuran *Investor Daily *, karyawan biasa di Cevron dengan
masa kerja di bawah 30 tahun mendapat gaji Rp 10,3 juta per bulan, Total E&P
Rp 5,4-13,3 juta, ConocoPhilips Rp 6,1-10,2 juta, dan Pertamina Rp 3,8-8,1
juta.

Biasanya, terdapat perbedaan gaji yang signifikan antara *field officer *dan
*nonfield officer *. Total misalnya, akan membayar *field engineer *-nya di
angka Rp 12 juta, yang kerjanya berpanas-panas di *rig * dua minggu
*on *dan dua minggu
*off *. Sementara itu, untuk *nonfield * jatuh iangka Rp 4-5 juta.

* Lebih Tinggi
*
Sumber *Investor Daily * yang menjadi *partner * di sebuah perusahaan
*headhunter
* mengatakan, pekerja ekspatriat yang bekerja di perusahaan migas asing yang
beroperasi di Indonesia mendapatkan gaji 30-50% lebih besar dari pekerja
lokal asal Indonesia. Dia mengatakan, eksekutif level direktur utama
ekspatriat yang bekerja di perusahaan Blok Badak di Kalimantan Timur seperti
Total, Vico, Eni bergaji mencapai kisaran EURO 180-300.000 per tahun, atau
sekitar Rp 2,124-3,540 miliar per tahun atau Rp 177-295 juta per ulan,
dengan asumsi kurs EURO 1 sama dengan Rp 11.8000.

Sementara itu, untuk level direktur ekspatriat bergaji EURO
150.000-250.000per tahun, atau sekitar Rp 1,770-2,950 miliar per tahun
atau Rp
147,5-245,833 juta/bulan. Ekspatriat yang bekerja di perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia pada level general manager/manager gajinya US$
6.000-12.000/bulan atau sekitar Rp 52,200-104,400 juta/ bulan. Sedangkan
posisi komisaris umumnya diduduki orang lokal.

Menurut dia, gaji ekspatriat lebih 50% tinggi dari gaji tersebut lagi, jika
bekerja di kantor pusatnya atau di wilayah kawasan tertentu ( *region area *),
misalnya Asia Pasifik. "Gaji ekspatriat yang bekerja di negaranya atau
region area bisa mencapai lebih EURO 300.000 per tahun," katanya. Itu belum
termasuk tambahan fasilitas lain seperti keanggotaan *club * ekslusif agar
bisa bergaul, pengawal, kendaraan, fasilitas perumahan, asuransi, dan
fasilitas umum lainnya.

Sebagai perbandingan, gaji pekerja lokal di perusahaan asing migas yang
beroperasi di Indonesia untuk level komisaris Rp 40-120 juta per bulan,
dirut US$ 15.000/bulan atau sekitar Rp 130,5 juta/ bulan, direktur lebih
rendah 20-40% dari dirut atau US$ 9.000-12.000/bulan atau sekitar Rp 104,4
juta/bulan, GM/manager dikurangi 30-50% atau US$ 5.000-7.000/bulan atau Rp
43,5-60,9 juta/nulan, *fresh graduate * untuk S1 geologist Rp 2-3
juta/bulan, dan berpengalaman Rp 5 juta/bulan.

Dia mengatakan, pekerja lokal yang bekerja di perusahaan asing biasanya
mendapatkan gaji standard dengan ukuran biaya hidup mencukupi atau lebih
sedikit di Indonesia, plus mobil, dan perumahan, dan fasilitas tunjangan
umum lainnya.

Menurut sumber, walaupun gaji pekerja lokal di perusahaan asing masih lebih
kecil 50% dari pekerja ekspatriat, itu sudah lebih baaik dibandingkan tahun
1970-an. Saat itu, gaji pekerja asal Indonesia hanya sekitar 10% dari
pekerja ekspatriat yang bekerja di perusahaan asing migas yang bekerja di
Indonesia. *(ari/lim/dr) *









Tidak ada komentar:

Posting Komentar